“Signal” adalah nama merk pasta gigi dari Unilever Indonesia yang dahulu eksis bersama dengan Pepsodent (Close-Up belum diperkenalkan). Ketika merk ini sempat eksis di toko-toko Indonesia pada tahun 1970an dan 1980an, Signal bersaing dengan banyak merk pasta gigi seperti Ritadent, Colgate, Mentadent, Prodent, termasuk sesama satu induk – Pepsodent. Tidak ada data kapan “Signal” mulai dijual di Indonesia.
Ia dikenal dengan bentuk fisik pasta giginya yang memiliki strip merah; dipasarkan sebagai gabungan pasta gigi yang memberi rasa bau mulut yang segar sekaligus gigi yang sehat. Alias ini adalah pendahulu spiritual dari Close-Up untuk pasar Indonesia.
Merk Signal masih bisa ditemukan di beberapa negara seperti di Timur Tengah dan Afrika, dan dikabarkan diproduksi di pabrik Unilever Cikarang.
Versi iklan televisinya, yang muncul di TVRI pada tahun 1981 menjelang larangan siaran niaga, dapat anda saksikan di YouTube. Sila tengok bila penasaran, dari narasinya tidak jauh-jauh amat dari iklan cetak ini.
Pertanyaan mimin SDRT adalah, apakah ada pasta gigi yang hanya berfungsi menyegarkan nafas saja? Berikan jawabannya di kolom komentar.
Sebenarnya tidak, karena empat tahun yang lalu mimin membuat opini yang menggambarkan kekesalan mimin dengan budaya pecinta iklan televisi dan bandar-bandarnya yang seakan jalan sendiri-sendiri. Sekarang suasana tersebut tak berubah. Bedanya, opini kali ini murni mengenai masalah periklanan kita.
Selama 4 tahun mimin membuat tulisan mengenai sejarah produk Indonesia yang dipadukan dalam kemasan iklan-iklan jadul, mimin melihat dunia pemasaran kita semakin berubah, dinamis dan makin tanggap dengan perubahan zaman. Kami melihat lebih sedikit iklan dipasang di media cetak, lebih dominannya iklan di televisi dan internet, dan mulai masuknya tren viral ke dalam dunia pemasaran produk.
Diantara perubahan tersebut, pengaruh Hallyu ke dunia pemasaran Indonesia adalah yang paling mimin kurang sukai. Sesuatu yang tidak diharapkan fans K-pop untuk blog yang dikelola oleh seseorang yang rentang usianya sama dengan kebanyakan demografi K-pop Indonesia.
Mengapa demikian, ini mungkin ada kaitannya dengan pengaruh produk-produk kebudayaan Korea serta ekses-eksesnya di Bumi Nusantara. Di media sosial Twitter – atau sekarang diacak-acak manusia culas bernama Elon Musk menjadi X – pada tahun 2021 disebutkan bahwa pengguna Twitter di Indonesia paling agresif membahas dan membicarakan musik K-pop serta dengan fans yang sangat banyak. Mungkin bakal lebih banyak lagi mengingat banyak anak-anak gen Z dan Alpha di Indonesia yang memakai internet dan biasanya memandang sesuatu dari luar negeri lebih positif dari negaranya sendiri, dan bagi SDRT, ini bukan prestasi.
Wajar bila produk-produk yang beredar sekarang – agar menarik perhatian para fanatik K-pop, menggunakan atribut yang bernuansa ke-Korea-an ini, termasuk mengajak tokoh-tokoh Drakor maupun K-pop sebagai duta merknya. Buktinya ada pada survei media liberal Tirto dimana 22% fans Korean Wave membeli produk endorsan idolanya; dibanding 5% fans artis nasional yang membeli produk endorsan idolanya.
Namun, karena mimin banyak mengetahui output yang dibuat insan periklanan Indonesia, fenomena hallyu di dunia pemasaran kita membuktikan bahwa produk kita sepertinya tak ingin kalah saing atau kalah tren dari pesaing; tapi berbahaya karena nyerempet ke isu nasionalisme yaitu hilangnya identitas nasional dan distorsi persepsi.
Paling kelihatan ada pada iklan kosmetik yang selama 35 sudah bergeser janji dan bahasanya, dulu kuning langsat dan bercahaya alami (iklan lotion Citra 1989-90, ada di YouTube) sekarang menjadi mau putih cerah ala orang Korea (iklan radio K-Natural White Body Wash, yang mimin sering dengarkan di radio Suara Sunari/Gema Merdeka). Padahal, di zaman junta militer Korea Selatan dahulu, orang Korea tidak seputih yang dipropagandakan hallyu.
Atau produk minuman bertema ke-Korea-an dan makanan yang mengadopsi kuliner asli Korea seperti kimchi atau gochujang. 15 tahun yang lalu bisa dikata makanan tersebut masih asing dijadikan bumbu mie yang kebanyakan masih murni khas Indonesia – terutama soto ayam dan ayam bawang.
Mimin SDRT lebih khawatir. Apalagi tren hallyu telah berjalan kurang lebih 15 tahun, sehingga penetrasinya menjadi lebih kuat, dan bisa jadi produk Indonesia akan semakin lebih banyak yang ke-Korea-an, sementara identitas lokal/negara masing-masing produsen (kecuali bila negaranya punya identitas yang kuat) bisa menguap begitu saja. Apakah ada produk lokal/asing lagi yang bisa mematahkan tren Korea ini? Hanya waktu yang menentukan.
Beberapa jam yang lalu, mimin SDRT yang iseng membaca berita yang ngetop di luar negeri menemukan bahwa Unilever, perusahaan multinasional dari Inggris dan Rotterdam, pemilik merek-merek dagang top seperti Blue Band, Sunlight dan Sunsilk, akan melepas bisnis es krim Heartbrand mereka (Marketingweek, 19/3/2024). Ya, merek es krim dengan identitas visual yang sama tetapi banyak nama. Wall’s, Good Humor, Algida, Streets, Langnese, tergantung dimana anda tinggal.
Kabar tersebut membuat SDRT sedikit terburu-buru dalam melakukan riset mengenai produk dan sejarah produk Wall’s di Tanah Air. Sekedar sejarah singkat, Wall’s baru ada di Indonesia sejak April 1992; saat itu pesaingnya cuma es krim Peters dan Campina (SWA No. 7/VIII). Saat kemunculannya, Wall’s dikabarkan baru memperkenalkan 17 produk dengan rentang harga 200 sampai 900 rupiah (Rp. 2.200 sampai Rp. 10.000 inflasi 2023) (BERNAS, 20/6/1992); dari Cornetto hingga Viennetta. Jumlah sekarang dari yang sudah diperkenalkan maupun sudah stop produksi bisa lebih banyak lagi. Namun kami hanya bisa menampilkan dua iklan yang kami dapatkan di arsip SDRT secara terburu-buru. Keduanya terbit pada Juni 1994.
Pertama adalah es krim Viennetta yang menjadi incaran anak-anak generasi 1990an; ini adalah varian rasa cokelatnya yang baru saja pada pertengahan 1994 diperkenalkan kepada masyarakat. Saat itu harganya mahal dan penetrasi kulkas ber-freezer di Indonesia masih kurang sehingga es krim tersebut hanya dibeli untuk waktu tertentu saja.
Es krim legendaris tersebut disebut oleh beberapa konsumen yang pernah menikmatinya sebagai es krim yang berbentuk seperti kue. Sesuai dengan tagline iklan yang dibuat oleh Lintas Advertising ini: lembut murni, kaya kelezatan…….. Viennetta, sepotong takkan pernah cukup. Rasa macam kue ini yang bikin ketagihan.
Sempat dihentikan penjualannya sekitar 2013, pada April 2020 – ditengah kecamuk pandemi Covid-19 – Unilever merilis kembali Viennetta akibat desakan pengguna media sosial.
Sementara yang ini, Mini Milk, tidak begitu legendaris. Ia tersedia untuk – menurut iklan – memenuhi kebutuhan susu anak-anak dan juga untuk menarik pembeli dari jajanan yang menurut mereka “tidak sehat”. Produk ini sudah tak lagi diproduksi, tapi di Inggris Raya, negeri Raja Charles, Mini Milk masih dijual.
Disayangkan bila produk ikonik Wall’s seperti Cornetto, Paddle Pop, Feast dan Populaire tidak bisa SDRT hadirkan karena faktor mengejar waktu. Bahkan mimin melanggar kebijakan puasa iklan fast-moving consumer goods. Berharap yang terbaik bagi Wall’s/Heartbrand dibawah manajemen baru pasca-perpisahan dari Unilever.
Referensi
Amri Husni; Yessy T. Malaysiaty (1992). “Setelah Wall’s membangunkan pesaing.” Majalah SWA No. 7/VIII, Oktober 1992, hal. 72-73
dey (1992). “Unilever produksi es krim Wall’s.” Harian Berita Nasional (Bernas), 20 Juni 1992, hal. 5
Inza adalah merk obat yang diproduksi oleh Konimex sejak 1970an (dua versi di Majalah SWA: No. 6/IV (9/1988) menyebut 1976, sementara No. 19/XX (29/9/2004) menyebut 1974) dari pabriknya di Sanggrahan, Surakarta, Jawa Tengah. Konimex merupakan pelopor kemasan empat tablet per strip untuk membantu menyediakan obat dengan harga murah dibanding kemasan 10 tablet/strip yang diproduksi pesaing-pesaingnya untuk merebut pangsa pasar kalangan bawah Indonesia yang bejibun jumlahnya.
Obat sakit kepala ini bertanda lingkaran berwarna biru alias bisa dijual bebas di apotik dengan pembatasan; untuk produksi modern ia memiliki parasetamol 600mg, pseudoephedrine HCl 30mg dan sisanya adalah Klorfeniramina Maleat 1mg. Fungsinya tak lain adalah meringankan efek flu seperti pilek, sakit kepala dan meriang.
Bisa dipastikan soal pemasaran, Inza, seperti produk Konimex lainnya (baru permen Gesit yang mimin bahas), digarap Matari Advertising. Bahasa yang ditampilkan sama: menjanjikan influenza cepat diredakan dengan minum Inza.
Merujuk pada artikel di majalah SWA edisi 29 Sepetmber 2004, sejak diperkenalkan Konimex (Kondang Import-Export) menyerahkan promosi periklanannya kepada Matari Advertising. Jadi iklan di atas lahr di awal-awal sekali keberadaan produk ini dan relasi Konimex-Matari.
Lima tahun kemudian ini adalah iklan yang sama muncul di majalah Femina. 1/2 halaman tetapi isinya sama; hanya beda copywritingnya. Disini ada kode KON-81-7107 yang sepintas mirip dengan yang ada di iklan Cussons Imperial Leather di tahun-tahun yang sama. Relasi Konimex-Matari memberi petunjuk bahwa kode xxx-yy-nnnn di dasawarsa 1980an awal adalah iklan buatan Matari.
Lima tahun kemudian, di majalah remaja Gadis, iklan Inza lain dicetak. Berbeda dengan iklan dari 1977 dan 1982, tagline atau slogan iklannya berubah, menjadi “Cepat sembuh.” Matari Advertising sempat mengupload versi iklan televisinya yang beredar kala RCTI dan SCTV masih awal-awal kemunculannya:
Referensi tambahan
Saraswati; Tjipta Lesmana (1988). “Djoenaedi Joesoef: dari kerajaan “Kondang Waras.” Majalah SWA No. 6/IV, September 1988, hal. 10-11
Abraham Susanto; Farida Nawang Nurini et. al. (reporter); Vika Octavia (riset); Sudarmadi (editor) (2004). “Kampiun Farmasi dari Solo.” Majalah SWA No. 19/XX, 29 September 2004, hal. 28-36
Setelah banyak membahas dan mengonsumsi yang namanya makanan dan minuman, sekarang injak gas dan kami bawa anda melihat tiga iklan Daihatsu yang terselip di majalah arsitektur “Laras”.
Kenapa pabrikan otomotif ini pasang iklan di majalah arsitektur? Masih misteri. Padahal mobil yang dijual pabrikan Jepang yang merupakan anak usaha Toyota ini tergolong tidak menarik mata secara desain.
Pertama adalah Daihatsu Charade sedan, yang diperkenalkan di Indonesia pada Juli 1990 dengan panji “Classy”. Baik Classy maupun Winner adalah Daihatsu Charade paling terakhir yang dijual di pasar Indonesia, karena generasi keempatnya tidak diturunkan Astra Daihatsu Motor – atau waktu itu disebut sebagai Divisi Kendaraan Bermotor (Motor Vehicle Division). Ini adalah varian pra-facelift; pelek kaleng, belum berspoiler dan masih memakai gril garis.
Dari isi iklan ini, sepertinya menyasar para eksekutif dan/atau orang kantoran dan berslogan “pilihan yang bijaksana”; ini mengingat di Indonesia, anehnya, sedan dipajak mahal.
Daihatsu Charade Classy memakai mesin 4 silinder, 1.300 cc 16 valve – ini jaman dimana jumlah katup dijadikan kebangaan oleh pabrikan – menghasilkan 89 tenaga kuda dan torsi 105 Nm. Fitur yang diberikan sudah cukup modern; jendela dan spion elektrik, central lock dan power steering.
Classy dihentikan produksinya sekitar Juli 1996 per pernyataan Astra Daihatsu Motor kepada Berita Yudha; beberapa referensi seperti Charis Alfian menyebut produksi disetop 1998.
Kedua adalah iklan Taft (F70), versi 4WD Diesel dari Hiline. SDRT pernah membahas Hiline beberapa tahun yang lalu di awal kehadiran blog ini. Iklan ini tidak banyak menyebutkan spesifikasi, kelebihan dan kekurangan serta teks yang mendongkrak imej Taft. Hanya gambar Taft yang menerabas sungai di belantara. Sebenarnya ini ada versi iklan televisinya, namun kami tidak bagikan karena watermarknya tidak selera kami.
Sepertinya ini untuk membuktikan kemampuan Taft 4×4 melintasi alam off-road. Karena konteks iklan Daihatsu di majalah arsitektur, mari katakan bahwa fans Y.B. Mangunwijaya cocok pakai Taft kalau mau turba ke kaum papa di belantara.
Tahukah anda, nama Daihatsu Taft di luar negeri hanya berlaku untuk Taft kebo (F10)?
Dan terakhir, 6 bulan setelah iklan Daihatsu Taft tadi, adalah turunan F70 lainnya, yaitu Feroza. Kerap dianggap SUV banci, RWD 1.600 cc empat silinder bensin; kemampuan off-roadnya sebatas ban AT dan ground clearance. Iklan simpel ini mencitrakan Feroza “menarik, tidak mata duitan dan bisa diajak hura-hura” yang merujuk pada tampilan, harganya yang dibawah 30 juta kala itu – itu seharga Rp. 300 juta nilai 2023, dan kemungkinan fitur power steering sebagai standar. Ini adalah varian pra-facelift; tahun 1996 akhir muncul varian yang lebih baik lagi.
Sejarah dari Rak Toko adalah blog yang dibuat oleh mimin Setiap Gedung Punya Cerita khusus untuk yang menyukai sejarah receh mengenai produk maupun jasa, atau bahkan perusahaan, yang dahulu pernah ditawarkan kepada pembeli di Indonesia, maupun yang eksis di Indonesia pada masa Orde Baru dan awal Reformasi.
Sepertinya ada satu masalah. Selama ini SDRT tidak punya medsos. Mimin juga malas mengelola medsos karena mengurus SGPC saja sudah menyita waktu. Jadi, kami putuskan untuk mengatakan….. anda bisa temui SDRT di Discord, dengan mengklik link di bawah ini, sehingga anda bergabung dengan Museum Iklan Indonesia.
Perlu diketahui bahwa admin di Museum Iklan Indonesia dikenal cukup waspada dengan keberadaan beberapa pecinta iklan yang nakal/obsesif sehingga anda kemungkinan harus menanti lama untuk diizinkan masuk untuk berbagi dan saling bertanya.
Andaikata anda adalah generasi lama yang tidak paham cara memakai Discord, anda bisa kontak melalui nomor telepon blog Setiap Gedung Punya Cerita, dengan tagar #sdrt. Tanpa itu, mimin anggap sebagai tidak relevan dengan Setiap Gedung Punya Cerita, dan masuk spam.
Ini adalah kasur tidur Airland yang diproduksi di dalam negeri oleh PT Airland Hilman Abadi sejak 1975. Kasur tidur ini menawarkan penampilan kasur yang “mewah, halus lembut bagai sutra” dan “terasa sejuk di telapak tangan anda.” Menjanjikan kasur tidur yang mewah dan nyaman untuk ditiduri. Ada sisi positif lain, kasur ini tidak membuat sesak nafas karena saat itu kebanyakan kasur yang dijual – terutama yang ditempati orang-orang kalangan bawah – berisi bahan berupa kapuk; pegas tidak bikin alergi beberapa orang, tapi mahal.
Merek Airland masih beredar dan diproduksi tetapi dengan nama badan hukum baru PT Dinamika Indonusa Prima.